----------------------------♥♥--------------------------
”Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan
laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan
wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang
baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu
bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka
ampunan dan rizki yang mulia (surga).” (QS. An-Nur [24]: 26)
Lanjutan Artikel dari
web penulis
1.5
Jihah Salbiyah dan Ijabiyah Status Tunangan
A.
Negatif
1.
Kedua belah pihak, baik laki-laki yang meminang ataupun
wanita yang dipinang jika masa tunangan itu disepakati dalam jangka panjang,
tentu lebih rawan akan seringnya terjadi pertemuan tanpa disertai mahram, yang
ujung-ujungnya adalah berpacaran. Sehingga hubungan dua insan yang lain jenis,
spesifik status pacaran, bisa diklasifikasikan menjadi tiga bagian:
A.
Berpacaran Tanpa Status
Hubungan tanpa status adalah bertemunya anak adam dengan kaum
hawa dalam mengekspresikan isi hati atau berdasarkan cinta kasih, tanpa adanya
ikatan yang jelas dan sah menurut aturan agama ataupun pemerintah.
Hubungan inilah yang dikenal dengan status pacaran bebas.
Terjadinya hubungan model ini banyak
terlihati di sekitar masyarakat, Tentunya harus dipahamai oleh pihak yang bersangkutan,
keluarga, tokoh masyarakat, tokoh agama atau ulama’, pimpinan instansi
pendidikan dan wakil-wakilnya, guru, dan orang-orang yang memiliki tanggung
jawab dalam menjaga kemaslahatan umat, agama, dan memperbaiki masalah sosial
secara umum. ,,,,,,Duwe anak Ayu jarene marem…Digowo joko gak jelas atine
ayem…wees arek-e seng mbeleng opo wong tuwone?,,,,,,,
B.
Berpacaran Dalam Status Tunangan
Berpacaran dalam tunangan adalah bertemunya anak adam dengan
kaum hawa, dalam mengekspresikan isi hati, yang telah dilaksanakan dengan acara
pertunangan menuju akad yang sah oleh kedua belah pihak calon keluarga, namun
tanpa didampingi orang yang dianggap aman (mahram).
berpacaran model ini tetap dilarang dalam aturan agama islam,
karena meskipun telah disepakati menuju akad yang sah, namun kesepakatan
tersebut hanya sebagai muqoddimah yang belum menggarah pada akad yang
sebenarnya. ,,,,,Mek kur disawang karo mesem-mesem…Pamite metu, nonton
filem,,,,,,wesss ati2ati dulur,,,,
C.
Berpacaran dalam Status Nikah
Berpacaran dalam nikah adalah bertemunya anak adam dengan kaum
hawa dalam mengekspresikan isi hati, yang telah diikat dengan akad nikah yang
sah menurut aturan agama dan pemerintah.
Istilah tersebut dikenal karena dipandang kedua belah pihak,
baik suami semasa bujang, maupun istri semasa singel, belum pernah melakukan
kontak hubungan, kecuali hanya lewat kerabat yang dianggap mahram.
Model pacaran seperti inilah yang halal menurut islam, sehingga
istilah pacaran inipun dikenal dengan “pacaran dalam nikah”. Ini pun harus
dibatasi dengan waktu dan tempat, maksudnya pasangan suami istri tetap boleh
melakukan hubungan sebebas-bebasnya, namun begitu tetap harus menyesuaikan
waktu, lingkungan, dan tempat.
Tidak tepat melakukan kontak hubungan lawan jenis yang bersifat
mengganggu pandangan orang lain (bermesra’an ), baik di tempat umum, seperti
dipinggiran jalan, tempat rekreasi, pasar, tempat ibadah, meskipun hubungan
tersebut sudah diikat dengan akad yang sah.,,,,,,,iki seng halal soale wes diikat karo perjanjian seng
sah mungguhe agamo,,,,,,, yo pancen pak ustadz,,,,
2.
Bila salah satu dari kedua belah pihak menemukan sisi
mines (aib) pada diri tunanganya, baik dari sisi fisik, perbuatan, ucapan, cara
pergaulan, maupun lainya, tentu akan lebih sulit menentukan pilihan lain dengan
orang yang dianggap lebih baik dari pihak tunangan, mengingat upacara
peminangan telah disepakati oleh kedua belah pihak keluarga dalam menentukan
masa menuju akad nikah yang sah, yang berakibat, jika kedua belah pihak tanpa
didasari kejujuran, akan terjadi pengundurkan diri dan berpaling pada pihak
lain yang tentunya menyakitkan pihak yang dirugikan. ,,,,,,,,,Mangkane dolor dipikir seng mateng, jok mong krono
nafsu amarah doang,,,,,pasangan ngono kanggo sak lawase,,,,,,
B.
Positif
1.
Jika
upacara peminangan telah dilaksanakan, tentu pihak keluarga lebih mudah
menentukan waktu yang pas kapan akad dilaksanakan.
2.
Lebih
fokus dan terarah untuk mengadakan akad dengan pihak tunangan.
3.
Kedua
belah pihak keluarga, bisa saling memberikan masukan dan arahan dalam menuju
akad yang sah, serta menjadi wasilah ketika pihak anak yang berstatus tunangan
mengadakan pertemuan.
1.6 Perbedaan Lafadz tashrih dengan ta’rid
Kata
“tashrih” berasal dari akar kata “sharraha”, menurut bahasa memiliki arti
menjelaskan dengan terang. Sedangkan tashrih secara terminologi dalam bab
nikah, memiliki arti ungkapan yang memastikan akan terealisasinya akad nikah
antara pihak peminang dengan yang
dipinanang. seperti kata “saya berkeinginan menikahi kamu”, hal ini yang
dimaksud dalam surat Al-Baqarah ayat 23 yang artinya ”… dalam pada
itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia…”.
Laki-laki
yang mengekspresikan perasaan hati dengan kata-kata tashrih pada wanita yang sedang
menjalankan masa iddah, menurut pemahaman linguistic Dalam ayat di atas
merupakan bentuk kalimat larangan.
Menurut ilmu Ushul Fiqh tergolong thalabu
al-khittab bersifat larangan keras (jazim) dalam agama. Tentu tidak boleh
diamalkan, karena dikhawatirkan pihak perempuan yang sedang menjalankan masa
iddah tergesa-gesa menjalin pernikahan dengan pihak peminang, padahal bebasnya
kandungan istri dengan suami pertama belum diketahui dengan masa iddah.
Dan
lagi dikwatirkan sang istri mendustakan masa iddahnya yang belum selesai,
sedangkan iddah adalah perintah agama yang sifatnya menjadi keharusan dan
bernilai ibadah.
Hal
itu (nikah sebelum masa iddah selesai) banyak terjadi pada masyarakat yang
minim pengetahuan agamanya, oleh karenanya perlu wawasan dan pemahaman khusus
bagi wanita, tentang masalah talaq dan iddah dalam bab fiqih munakahat. Karena
wanita lebih tau bilangan masa iddah yang sedang dijalaninya.
sedangkan
kata ta’ridl (metonimi) berasal dari akar kata arradla, secara bahasa dapat
diartikan sindiran, sedangkan ta’ridl secara terminologi dapat diartikan
ungkapan yang tidak memastikan akan terjadinya akad nikah, antara pihak yang
berkeinginan meminang dengan wanita yang
akan dipinanang, namun kata tersebut dianggap mampu mewakili apa yang dimaksudkan.
Seperti kata “ kamu cantik sekali tentulah banyak laki-laki yang
menyukaimu.”
1.7 Hukum Meminang Wanita dalam Pinangan
Wanita
yang berada dalam pinangan, meski dilaksanakan dengan berbagai upacara,
hal itu tak lebih hanya untuk menguatkan dan
memantapkan kedua belah pihak antara wanita yang dipinang dan lakai-laki yang
meminang.
Khitbah
bagaimanapun keadaannya tidak akan dapat memberikan hak
apa-apa kepada si peminang melainkan hanya dapat menghalangi lelaki lain
untuk meminangnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
وعن ابن عمر - رضي الله عنهما-
قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ( لا يخطب بعضكم على خطبة أخيه , حتى يترك
الخاطب قبله , أو يأذن له
Diriwayatkan
melalui Ibnu Umar, "Tidak boleh
salah seorang di antara kamu meminang pinangan saudaranya, hingga peminang
pertama menggagalkan atau peminang pertama memberikan idzin pada peminang
kedua." (Muttafaq 'alaih)
Dari
sisi linguistic, instruksi larangan meminang pinangan orang lain, sebagaimana
penjelasan hadits di atas, bersifat (jazim) yang berdampak haramnya meminang
wanita yang telah berada dalam pinangan laki-laki lain. Mengacu pendapat Qoul
yang lebih shahih dalam ilmu ushul fiqih disebutkan“bahwa tiap-tiap larangan
berlaku untuk semua zaman (dawam) kecuali ada indikasi yang membatasinya
(Qoyyid), maka larangan tersebut bisa berubah dan mengarah pada hukum lain
sesuai dengan dalalah lafadz.”
Begitu
juga bunyi tekstual hadits di atas, karena ditaqyid dengan huruf hatta (حتى)
yang bermakna intiha’ al-ghoyah/itstisna’
yaitu kata-kata “sehingga/kecuali pihak peminang pertama meninggalkan
atau memberikan idzin pada peminang kedua”.
Maka larangan tersebut bisa berubah dari
larangan menjadi hukum jawaz (boleh) meminang
wanita yang telah menjadi pinangan orang lain dengan catatan mendapatkan izin dari
peminang pertama atau pihak peminang menggagalkanya.
Namun
yang terpenting dan harus diperhatikan dalam hadits di
atas, bahwa wanita yang telah
dipinang atau dilamar tetap merupakan orang
asing (bukan mahram) bagi si pelamar,
sampai terlaksana dengan akad nikah yang sah.
Tidak
boleh bagi wanita yang telah dipinang menghalalkan tubuhnya pada pihak
peminang, tidak boleh diajak ketempat yang sepi dan ketiganya adalah
pacaran(pakai cara setan), apalagi diajak hidup serumah
(rumah tangga), kecuali setelah dilaksanakan akad nikah yang
benar menurut syara', yaitu telah terpenuhi rukun-rukun nikah yang lima bagi yang bermadzhab Ulama’ Safi’iyah.
Selama
akad nikah belum terlaksana dengan rukun-rukunya, maka status
hubungan pernikahan belum terwujud dan belum terjadi, baik menurut adat,
syara', maupun undang-undang pemerintah.
Wanita
tunangan tetap sebagai orang asing bagi si
peminang (pelamar) yang tidak halal bagi
mereka bepergian berduaan tanpa disertai salah seorang dari mahramnya
seperti ayah atau saudara laki-lakinya.
1.8 Status Pemberian Barang Lamaran Yang Digagalkan
Menurut
ketetapan syara’, lelaki yang telah menikahi seorang
wanita lantas meninggalkan (menceraikan) isterinya sebelum ia
mencampurinya, maka ia berkewajiban memberi mahar kepada isterinya setengah
harga, hal ini didasarkan pada ayat yang berbunyi:
وَإِنْ
طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ
فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي
بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَلَا
تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
"Jika
kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu
mencampuri mereka, padahal
sesungguhnya kamu telah menentukan maharnya, maka
bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali
jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan
oleh orang yang memegang ikatan nikah dan pema'afan kamu itu lebih dekat
kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan." (Al Baqarah: 237)
Teks
ayat di atas menjelaskan status mahar wanita yang sudah dibayar kemudian
terjadi talaq sebelum disenggama. Dari sisi linguistik ayat tersebut memberikan
tiga solusi dalam memberikan bayan status mahar yang telah terbayar, dengan
itstisna’ illa.
pertama dhomir mustasna kembali pada
nisa’ (wanita) sebagai bayan pertama, sedangkan mustasna yang kedua tergolong
lafadz yang mujmal (musytarak lafdzi) karena masih terjadi kerancuan makna,
yang memiliki dua kemungkinan arti, yaitu antara pihak suami atau wali, dan ini
merupakan bayan yang kedua dan ketiga.
Dapat
ditafsil, kalau istri mema’afkan maka status mahar yang telah terbayar harus
dikemblikan semua pada suami yang mentalaq. Atau Walinya yang mema'afkan, Maka
suami dibebaskan dari membayar mahar yang seperdua, sedang kalau suami yang
mema'afkan, maka suami membayar seluruh mahar. Allahu a’lamu!...
Adapun
dalam masalah khitbah sebagaimana yang diungkapkan oleh Syeikh Abu Bakar Bin
Muhammad Syatho ad-Dimyati “jika terjadi pengunduran diri baik dari
pihak laki-laki yang meminang ataupun pengunduran dari pihak wanita yang
dipinang, padahal pihak peminang telah mengirim sejumlah harta kepada
pihak wanita sebelum akad nikah terlaksana, serta tidak ditemukan indikasi yang
menunjukkan adanya tabarru’ (pembebasan harta pemberian pada masa khitbah) oleh
pihak suami, maka sang laki-laki berhak menarik kembali apa yang telah sampai
ke tangan wanita (pemberian harta pinangan), baik selang waktunya itu panjang
maupun pendek.”
Dari
kedua obyek masalah barusan jelas, pihak yang telah mengagalkan tidak punya
kewajiban apa-apa, kecuali bolehnya menggambil barang pinanggan yang
telah dikirim pada pihak wanita.
Duwe anak Ayu jarene marem…
Digowo joko atine ayem…
Mek kur disawang karo mesem-mesem…
Pamite metu, “Bu’ Arep Nonton Filem”…
Suwe-suwe ngiyup bareng neng
ngisore asem…
During dadi manten wis ngidam
pelem…
Lho nek ngeten sinten ingkang
salah?...
Kulo nopo sampean dewe,,,hehe….
just jolification
خلق الله الرجل ليكون عابدا
وخلق الله المرأة لتكون عابدة
وأحسن العبادة للرجل حفظ نفسهه
وأفضل العبادة للمرأة حفظ هواى ها
Allah menciptakan laki-laki agar ia mau menyembah pada-Nya
Allah menciptakan wanita agar ia mau menyembah pula pada-Nya
Sebaik-baiknya ibadah bagi laki-laki adalah menjaga nafsu adam-nya
Dan sebaik-baik ibadah wanita adalah wanita yang mampu memelihara nafsu hawa-nya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar