Coretan Kuliah
Kajian
Stilistika Jurusan Bsa Uin Malang 2012
Gaya bahasa Al-Qur’ân
Dosen: Dr. H. Akhmad Muzakki, M.A
دراسة أسلوب القرآن
Gaya bahasa
Al-Qur’ân dalam konteks ilmu bayân
(metafor), meliputi bahasa tasybîh, isti’ârah, majâz, dan kinâyah.
Tasybîh secara bahasa dapat didefinisikan menyerupakan sesuatu,
sedangkan secara istilah, tasybîh adalah menyerupakan dua
perkara atau lebih yang memiliki kesamaan dalam hal tertentu , dengan mengunakan
perangkat dalam membandingkan dua hal yang memiliki kesamaan.
Tasybîh berfungsi memperjelas makna serta memperkuat maksud dari sebuah
ungkapan. Sehingga orang yang mendengarkan pembicaraan bisa merasakan seperti
pengalaman psikologis pihak penutur (Ahmad Badawi (1950: 190)
Tasybih
Dalam Al-Qur’ân
وَالَّذِينَ
كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآَنُ مَاءً حَتَّى
إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ
حِسَابَهُ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Dan orang-orang kafir
amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka
air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu Dia tidak
mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu
Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah
sangat cepat perhitungan-Nya.” (Q.S An-Nûr [24]: 39)
أَوْ كَظُلُمَاتٍ فِي
بَحْرٍ لُجِّيٍّ يَغْشَاهُ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ سَحَابٌ
ظُلُمَاتٌ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ إِذَا أَخْرَجَ يَدَهُ لَمْ يَكَدْ يَرَاهَا وَمَنْ
لَمْ يَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِنْ نُورٍ
“Atau seperti gelap
gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak
(pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila Dia
mengeluarkan tangannya, Tiadalah Dia dapat melihatnya, (dan) Barangsiapa yang
tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah Tiadalah Dia mempunyai cahaya
sedikitpun.” (Q.S An-Nûr [24]: 40)
Allah mempersamakan amalan arang-orang
kafir dengan dua perumpamaan, pertama dengan perumpamaan yang baik, yaitu
memperumpamakan amalan mereka dengan fatamorgana di tanah datar, dan yang kedua
dengan perumpamaan yang buruk, yaitu memperumpamakan amalan mereka dengan gelap gulita di lautan yang dalam.
Orang-orang kafir laksana orang-orang
yang haus menyangka bahwa di tempat yang ia lihat terdapat air, dan apabila
didatangi, mereka tidak menemukannya. Ini adalah suatu gambaran yang membuat
mereka seharusnya berfikir lebih dalam, karena apa yang dilakukan oleh mereka
selama di dunia tidak mendapatkan apapun di akhirat kelak.
Allah menyamakan amalan amalan mereka
dengan fatamorgana karena di tempat mereka hidup sulit sekali untuk mendapatkan
air, yang mana air merupakan sumber kehidupan masyarakat arab secara
keseluruhan .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar